Selasa, 18 Maret 2014

Memfilmkan ( menafsirkan ) Sukarno

Tidak seorangpun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan demikian banyak perasaan pro – kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit, dan dipuja bagai dewa – ( Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat ) Budayawan Umar Kayam pernah merasa kurang enak, saat memerankan sosok Sukarno dalam film ‘ Pengkhianatan G 30 S PKI ‘ terutama pada scene pangkalan Halim. Saat itu ia – Sukarno – harus menepuk nepuk pundak Brigjend Soeparjo yang melaporkan gerakan tersebut. Bagaimana tidak, bahasa tubuh yang diperankan dalam film itu jelas mengamini penonton, bahwa Sukarno merestui penculikan para jenderal. Penulis novel ‘ Para Priyayi ‘ yang mantan Dirjen Radio, TV & Film itu memang tak pernah dekat dengan Sukarno. Tapi ia tahu bahwa penguasa saat itu berkepentingan menggambarkan Sukarno menurut versi mereka, demi legitimasi rezim orde baru. Setelah Soeharto tumbang, banyak bermunculan sanggahan untuk meluruskan sejarah, diantaranya bekas panglima Angkatan Udara Omar Dhani yang hadir di Halim saat itu. Menurutnya, Sukarno justru memarahi Soepardjo dan meminta menghentikan semua gerakan. Ditambah kesaksian Ratna Sari Dewi dan ajudan Mangil, yang menunjukan ketidaktahuan Sukarno atas apa yang sesungguhnya terjadi subuh dini hari tersebut. Menafsirkan Sukarno tidak hanya medium tulisan, dalam bentuk buku. Tapi juga memasuki ruang audio visual. Tercatat ada 4 film biopic Sukarno. Hanung Bramantyo dengan “ Soekarno : Indonesia Merdeka “ sedang bersiap diputar bioskop. Ada juga “ Soekarno “ besutan Viva Westi yang bercerita kehidupan sang proklamator pada masa pembuangan di Ende. Selain itu ada versi berjudul “ Kuantar ke Gerbang “ dan “ 9 reasons, Great leader Great Lover “ yang entah jadi apa tidak memasuki produksi. Banyak harapan film film Sukarno ini akan menjadi cerita sejarah ‘ alternative ‘ kalau tidak bisa dibilang sebagai pelurusan sejarah Sukarno yang sekian lama ditulis sejahrawan orde baru. Dari pihak keluarga Sukarno sendiri berkepentingan agar sejarah Sukarno diletakan pada rel yang sesungguhnya. Menariknya para pembuat film berusaha menceritakan sejarah Sukarno dengan intepretasi masing masing. Pertanyaannya, sumber manakah yang paling sahih sebagai pemegang tafsir sejarah Sukarno ? Apakah buku buku sejarah yang sudah dipublikasikan, data data dokumentasi yang selama ini tersembunyi atau biografi Sukarno sendiri ?. Ternyata biografi Sukarno paling popular yang ditulis Cindy Adams “ Bung Karno penyambung lidah rakyat Indonesia “ telah mengalami pemutarbalikan sejarah yang tidak sesuai dengan edisi asli bahasa Inggris. Ketika buku buku Sukarno sulit ditemukan paska 1965. Justru buku ini mengalami cetak ulang beberapa kali ( 1966, 1982, 1984, 1986, 1988 ). Pada cetakan pertama, masih tertulis nama penerterjemah Mayor Abdul Bar Salim. Pada edisi berikutnya pangkatnya tidak disebut lagi. Namun ada pengantar penerbit bahwa penerjemahan ini direstui Menpangad Letjend Soeharto, selain kata sambutan dari Soeharto sendiri. Dalam pengecekan yang dilakukan Yayasan Bung Karno, ternyata ada kekeliruan terjemahan, dan penambahan alinea dalam bahasa Indonesia sejak tahun 1966, misalnya kisah Sukarno yang seolah bisa membacakan proklamasi kemerdekaan tanpa kehadiran Hatta. Bagaimana dengan sumber militer ? Kesaksian bekas ajudan Kolonel (KKO) Bambang Widjanarko kepada Teperpu ( Team pemeriksa pusat ) menyebutkan keterlibatan Sukarno pada gerakan. Anehnya pemeriksaan pada Kolonel Bambang dilakukan setelah Sukarno meninggal. Apakah ini guna menghindari dikonfrontir secara langsung ? Ajudan lainnya, Kolonel Maulwi Saelan membantah dengan mengatakan kesaksian Bambang telah diatur untuk memenuhi skenario Teperpu. Semua ini dibayar dengan tidak memasukan Bambang Wijanarko ke dalam penjara, sebagaimana yang dialami ajudan ajudan lainnya. Dalam perjalanan hidup setelah turun dari kekuasaannya, Sukarno mengalami pasang surut , dimulai dengan mencapnya secara resmi sebagai kriminal pengkhianat negara, melalui TAP MPRS No 33 tahun 1967. Dalam salah satu butir Ketetapan MPRS tersebut antara lain berbunyi: “….Bahwa ada petunjuk-petunjuk Presiden Soekarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G30S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G30S/PKI.” Sukarno juga mengalami karantina politik, dalam kehidupan sehari harinya. Bahkan sebelum menjalani tahanan rumah, ia dilarang memakai peci atau baju berkantung empat, yang bisa mengingatkan rakyat kepada sosok Sukarno masa silam. Setelah 17 tahun, angin berubah ketika Sukarno bersama Hatta dijadikan nama bandara baru yang baru dibangun di Cengkareng. Disusul tahun 1986, ketika Soeharto menganugrahkan gelar pahlawan proklamator, dan belum berapa lama pemerintahan SBY memberikan gelar pahlawan nasional. Sukarno adalah sosok menarik untuk dikupas dalam pergulatan sejarah perjuangannya. Namun banyak penulis atau penafsir yang gagal, karena tidak bisa memahami perspektif pribadi Sukarno yang bisa jadi sangat subyektif. Perpindahan minat Sukarno dari panggung politik ke panggung teater, semasa di pembuangan Ende, dianggap sebagai pertobatan seorang Sukarno. Saat itu dia membentuk group tonil sandiwara yang dinamakan ‘ Toneel Klub Kelimutu ‘. Sebagai sutradara dan penulis naskah – ada 12 naskah sandiwara – Sukarno menggunakan kelompok sandiwara ini untuk menyusupkan ide ide perjuangannya. Salah satu lakon yang paling terkenal adalah Dr. Sjaitan yang ditulis tahun 1936. Konon cerita itu diilhami oleh film Frankestein yang dikenal sebagai mayat yang dihidupkan kembali oleh doctor Boris Karloff. Adegan transpantasi organ tubuh ke mayat menjadi kunci yang menarik. Apakah semua penonton tahu makna adegan itu ? Sukarno sendiri pernah mengatakan, bahwa moral cerita itu adalah, Tubuh Indonesia yang sudah tidak bernyawa dapat bangkit dan hidup lagi. Bangsa Indonesia akan bangkit dari tidur panjangnya di masa penjajahan. Ia juga menciptakan naskah sandiwara yang diberi judul “ Indonesia 1945 “. Kenapa tahun 1945 ? Tidak tahu juga, apakah Sukarno semacam dukun yang bisa melihat masa depan. Dalam naskah tadi diceritakan bahwa bangsa Asia akan bangkit melawan penjajah. Kemudian “ Indonesia 1945 “ menjadi kenyataan yang diproklamasikan oleh penulisnya sendiri. Group tonil ini diakui Sukarno menjadi salah satu nafas yang membuatnya bertahan hidup di tanah pembuangan. Kasus Sukarno dianggap sebagai kolaborator dengan Jepang, menunjukan ketidaktahuan apa yang terjadi saat itu. Padahal kolaborasi yang dilakukan Sukarno, Hatta dengan Jepang itu merupakan kesepakatan tiga serangkai – Sukarno – Hatta dan Syahrir. Tentang Romusha, pada awalnya Sukarno sendiri tidak bakal menduga bahwa kerja itu akan mencelakakan bangsanya sendiri. Apalagi waktu itu Sukarno dan Hatta menggunakan pengerahan tenaga kerja sebagai cara mengurangi angka pengangguran rakyatnya. Sukarno lahir di bawah rasi Gemini. Sebuah lambang kekembaran, dua sifat yang berlawanan, sebagaimana dia pernah katakan sendiri. Dia idealis sekaligus pragmatis. Kepada Soebadio Sastrosatomo, Soebadio dan Soedjatmoko yang menghampiri Sukarno pada awal 1944 dan memprotes dukungan Sukarno terhadap Jepang. Ia mengatakan, “ dengan setan sekalipun saya mau bekerja sama andaikan dengan demikian saya dapat menolong bangsa saya “. Menyimpulkan Sukarno seorang demokratis juga tak sepenuhnya benar, karena dia memberangus koran pengrikitiknya dan memenjarakan penentangnya. Dalam biografi bekas tokoh Permesta, Ventje Sumual. Dia menceritakan Sukarno tak sepenuhnya nasionalis, karena memilih Nasution sebagai KSAD atas pertimbangan agama Islam, dibanding Simbolon yang Kristen. Alasannya karena dia membutuhkan dukungan politisi Islam di parlemen. Sumual mendengar dari Letnan Kolonel Prajogo, komandan CPM yang mendengar penuturan langsung dari Sukarno yang tak menduga kalau si komandan CPM beragama Katolik. Kebiasaan Sukarno menonton film seminggu sekali di Istana menunjukan dia sebagai sosok yang egaliter. Sukarno mengajak seluruh pegawai Istana untuk berbaur bersama bersama anak anaknya dalam ruangan pemutaran film. Dia bisa sangat marah ketika ada yang masih bercakap cakap ketika film diputar. Tapi dia juga mempersilahkan pengawal pengawalnya untuk memakan suguhan yang disediakan untuk keluarga Presiden. Sebagaimana dikisahkan oleh ajudan Mangil. Sukarno bisa tidak tega – memalingkan wajahnya – ketika melihat adegan seekor rusa yang ditembak oleh pemburu. Kisah ini melukiskan Sukarno sebagai pribadi yang hangat, terbuka, bergelora, sensitive dan sangat kompleks. Frans Goedhart, wartawan harian ‘ Het Parool ‘ yang hadir dalam perayaan proklamasi kemerdekaan pertama di Jogja pada 17 Agustus 1946, mempunyai komentar ringkas setelah ia mendengarkan pidato presiden Sukarno. “ Fier en met open vizier, zo is Sukarno “ – Gagah berani dan dengan dada terbuka, begitulah Sukarno. Dia memang sosok percaya diri sekaligus sombong. Dia pernah mengatakan kepada anak residen Bengkulu yang bertanya mengapa ia rajin sekali menghabiskan waku dengan membaca. Jawab Sukarno, ia perlu terus belajar karena dirinya adalah calon pemimpin masa depan Indonesia. Ya Sukarno seorang yang optimistis. Satu hal menurut Fatmawati, Sukarno tak pernah munafik, selalu terus terang walaupun perkataannya akan menyakiti orang lain. Sukarno memang tak pernah sembunyi sembunyi mengemukakan perasaan cintanya kepada orang lain. Dia sangat gentlemen. Berbagai hal di atas tentang pribadi Sukarno, bisa menjadi rujukan ‘ character development ‘ bagi sineas yang akan memfilmkan Sukarno. Perlu dipahami walau Sukarno seorang Jawa namun ia adalah produk Belanda yang ke-barat baratan. Ia lebih suka berbicara bahasa Belanda. Bahkan ia berpikir dalam bahasa Belanda. Ketika seorang sineas memberikan tafsir Sukarno yang berpikir dalam cara Indonesia, pasti akan membuat penokohannya tidak pas. Berbeda dengan orang Jawa pada umumnya, Sukarno tidak pernah malu untuk berani mencium gadis yang disukai di sekolah. Jika membaca yang tersurat dalam biografi Inggit Ganarsih, bisa disimpulkan Sukarno muda sudah mengisi malam malam sepi si istri pemilik rumah kosnya, yang selalu ditinggal pergi suaminya. Apakah ini menjadi semacam men-down grade karakter Sukarno ketika ditampilkan di layar lebar ? Saya rasa tidak. Itu menunjukan Sukarno yang sesungguhnya. Seorang pencinta ulung. Dalam salah satu film Sukarno yang berkisah kehidupannya di Ende. Si Bung terlihat selalu memakai kopiahnya dimana mana, termasuk di dalam rumah. Juga para anggota tonil sandiwara yang dikumpulkan, datang dengan hampir semua memakai kopiah. Tiba tiba saya bertanya, ini di Ende, Flores atau Riau, Sumatera timur ? Prosesi menyanyi Indonesia Raya sebelum pementasan di Aula Gereja Immaculata juga mustahil. Bagaimana mungkin mereka menyanyi didepan para tamu audiens yang ada orang Belandanya. Sementara Syahir di Banda, harus sembunyi sembunyi di pantai, ketika mengajarkan lagu kebangsaan. Dalam ‘ Soekarno’ nya Hanung. Saya menghargai konstruksi sejarah yang ia tampilkan untuk generasi sekarang yang tidak mengenal bapak bangsa kita, walau si Bung terlihat gloomy dan seperti kehilangan semangatnya. Saya juga tidak mempersalahkan perbedaan persepsi, misalnya Riwu Ga yang digambarkan pulang terlebih dahulu, padahal ia tetap tinggal sampai proklamasi. Tak ada yang tahu kalau Riwu Ga adalah corong kemerdekaan yang pertama. Setelah para pemuda pulang. Soekarno memanggil Riwu. “Angalai (sahabat), sekarang giliran angalai,” lalu Bung Karno melanjutkan instruksinya, “sebarkan kepada rakyat Jakarta, kita sudah merdeka. Bawa bendera.” Waktu itu hampir mustahil menggunakan radio, mengingat fasilitas masih dikuasai Jepang. Dengan menaiki jip terbuka yang disupiri Sarwoko, Adiknya Mr. Sartono, sahabat Soekarno dari PNI. Riwu berteriak dengan megaphone di jalan jalan dan gang gang Jakarta mengabarkan. Indonesia sudah merdeka. Selain itu ada versi lain, bahwa sesungguhnya Sukarno mengantar Inggit pulang ke Bandung dengan oto ( mobil ). Kartika, anak angkat mereka duduk di tengah diantara Sukarno dan Inggit. Sementara Kyai Haji Mas Mansur ikut mengantar duduk di depan, sebelah supir. Saya hanya terganggu bahwa baju baju pada masa itu terlihat sangat rapih serta orang orang yang perutnya buncit. Padahal jaman Jepang dikenal sebagai jaman susah, baik sandang maupun pangan. Tapi tafsir dari seorang sutradara, tidak ada yang lebih pas dari kemampuannya memilih cast pemeran. Terus terang Hanung memberikan yang terbaik. Namun jika saya boleh berandai andai. Saya meminta Hanung memberi porsi sedikit waktu saja kepada Inggit, ketika Sukarno membacakan teks proklamasi. Mungkin ini sangat personal. Bagi saya dari seluruh jasa Sukarno memerdekakan negerinya, sebagian besar ada ‘ saham ‘ dari Inggit yang mendampinginya dalam jalan panjang yang bukan bertabur bunga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar