Selasa, 18 Maret 2014

Memfilmkan ( menafsirkan ) Sukarno

Tidak seorangpun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan demikian banyak perasaan pro – kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit, dan dipuja bagai dewa – ( Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat ) Budayawan Umar Kayam pernah merasa kurang enak, saat memerankan sosok Sukarno dalam film ‘ Pengkhianatan G 30 S PKI ‘ terutama pada scene pangkalan Halim. Saat itu ia – Sukarno – harus menepuk nepuk pundak Brigjend Soeparjo yang melaporkan gerakan tersebut. Bagaimana tidak, bahasa tubuh yang diperankan dalam film itu jelas mengamini penonton, bahwa Sukarno merestui penculikan para jenderal. Penulis novel ‘ Para Priyayi ‘ yang mantan Dirjen Radio, TV & Film itu memang tak pernah dekat dengan Sukarno. Tapi ia tahu bahwa penguasa saat itu berkepentingan menggambarkan Sukarno menurut versi mereka, demi legitimasi rezim orde baru. Setelah Soeharto tumbang, banyak bermunculan sanggahan untuk meluruskan sejarah, diantaranya bekas panglima Angkatan Udara Omar Dhani yang hadir di Halim saat itu. Menurutnya, Sukarno justru memarahi Soepardjo dan meminta menghentikan semua gerakan. Ditambah kesaksian Ratna Sari Dewi dan ajudan Mangil, yang menunjukan ketidaktahuan Sukarno atas apa yang sesungguhnya terjadi subuh dini hari tersebut. Menafsirkan Sukarno tidak hanya medium tulisan, dalam bentuk buku. Tapi juga memasuki ruang audio visual. Tercatat ada 4 film biopic Sukarno. Hanung Bramantyo dengan “ Soekarno : Indonesia Merdeka “ sedang bersiap diputar bioskop. Ada juga “ Soekarno “ besutan Viva Westi yang bercerita kehidupan sang proklamator pada masa pembuangan di Ende. Selain itu ada versi berjudul “ Kuantar ke Gerbang “ dan “ 9 reasons, Great leader Great Lover “ yang entah jadi apa tidak memasuki produksi. Banyak harapan film film Sukarno ini akan menjadi cerita sejarah ‘ alternative ‘ kalau tidak bisa dibilang sebagai pelurusan sejarah Sukarno yang sekian lama ditulis sejahrawan orde baru. Dari pihak keluarga Sukarno sendiri berkepentingan agar sejarah Sukarno diletakan pada rel yang sesungguhnya. Menariknya para pembuat film berusaha menceritakan sejarah Sukarno dengan intepretasi masing masing. Pertanyaannya, sumber manakah yang paling sahih sebagai pemegang tafsir sejarah Sukarno ? Apakah buku buku sejarah yang sudah dipublikasikan, data data dokumentasi yang selama ini tersembunyi atau biografi Sukarno sendiri ?. Ternyata biografi Sukarno paling popular yang ditulis Cindy Adams “ Bung Karno penyambung lidah rakyat Indonesia “ telah mengalami pemutarbalikan sejarah yang tidak sesuai dengan edisi asli bahasa Inggris. Ketika buku buku Sukarno sulit ditemukan paska 1965. Justru buku ini mengalami cetak ulang beberapa kali ( 1966, 1982, 1984, 1986, 1988 ). Pada cetakan pertama, masih tertulis nama penerterjemah Mayor Abdul Bar Salim. Pada edisi berikutnya pangkatnya tidak disebut lagi. Namun ada pengantar penerbit bahwa penerjemahan ini direstui Menpangad Letjend Soeharto, selain kata sambutan dari Soeharto sendiri. Dalam pengecekan yang dilakukan Yayasan Bung Karno, ternyata ada kekeliruan terjemahan, dan penambahan alinea dalam bahasa Indonesia sejak tahun 1966, misalnya kisah Sukarno yang seolah bisa membacakan proklamasi kemerdekaan tanpa kehadiran Hatta. Bagaimana dengan sumber militer ? Kesaksian bekas ajudan Kolonel (KKO) Bambang Widjanarko kepada Teperpu ( Team pemeriksa pusat ) menyebutkan keterlibatan Sukarno pada gerakan. Anehnya pemeriksaan pada Kolonel Bambang dilakukan setelah Sukarno meninggal. Apakah ini guna menghindari dikonfrontir secara langsung ? Ajudan lainnya, Kolonel Maulwi Saelan membantah dengan mengatakan kesaksian Bambang telah diatur untuk memenuhi skenario Teperpu. Semua ini dibayar dengan tidak memasukan Bambang Wijanarko ke dalam penjara, sebagaimana yang dialami ajudan ajudan lainnya. Dalam perjalanan hidup setelah turun dari kekuasaannya, Sukarno mengalami pasang surut , dimulai dengan mencapnya secara resmi sebagai kriminal pengkhianat negara, melalui TAP MPRS No 33 tahun 1967. Dalam salah satu butir Ketetapan MPRS tersebut antara lain berbunyi: “….Bahwa ada petunjuk-petunjuk Presiden Soekarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G30S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G30S/PKI.” Sukarno juga mengalami karantina politik, dalam kehidupan sehari harinya. Bahkan sebelum menjalani tahanan rumah, ia dilarang memakai peci atau baju berkantung empat, yang bisa mengingatkan rakyat kepada sosok Sukarno masa silam. Setelah 17 tahun, angin berubah ketika Sukarno bersama Hatta dijadikan nama bandara baru yang baru dibangun di Cengkareng. Disusul tahun 1986, ketika Soeharto menganugrahkan gelar pahlawan proklamator, dan belum berapa lama pemerintahan SBY memberikan gelar pahlawan nasional. Sukarno adalah sosok menarik untuk dikupas dalam pergulatan sejarah perjuangannya. Namun banyak penulis atau penafsir yang gagal, karena tidak bisa memahami perspektif pribadi Sukarno yang bisa jadi sangat subyektif. Perpindahan minat Sukarno dari panggung politik ke panggung teater, semasa di pembuangan Ende, dianggap sebagai pertobatan seorang Sukarno. Saat itu dia membentuk group tonil sandiwara yang dinamakan ‘ Toneel Klub Kelimutu ‘. Sebagai sutradara dan penulis naskah – ada 12 naskah sandiwara – Sukarno menggunakan kelompok sandiwara ini untuk menyusupkan ide ide perjuangannya. Salah satu lakon yang paling terkenal adalah Dr. Sjaitan yang ditulis tahun 1936. Konon cerita itu diilhami oleh film Frankestein yang dikenal sebagai mayat yang dihidupkan kembali oleh doctor Boris Karloff. Adegan transpantasi organ tubuh ke mayat menjadi kunci yang menarik. Apakah semua penonton tahu makna adegan itu ? Sukarno sendiri pernah mengatakan, bahwa moral cerita itu adalah, Tubuh Indonesia yang sudah tidak bernyawa dapat bangkit dan hidup lagi. Bangsa Indonesia akan bangkit dari tidur panjangnya di masa penjajahan. Ia juga menciptakan naskah sandiwara yang diberi judul “ Indonesia 1945 “. Kenapa tahun 1945 ? Tidak tahu juga, apakah Sukarno semacam dukun yang bisa melihat masa depan. Dalam naskah tadi diceritakan bahwa bangsa Asia akan bangkit melawan penjajah. Kemudian “ Indonesia 1945 “ menjadi kenyataan yang diproklamasikan oleh penulisnya sendiri. Group tonil ini diakui Sukarno menjadi salah satu nafas yang membuatnya bertahan hidup di tanah pembuangan. Kasus Sukarno dianggap sebagai kolaborator dengan Jepang, menunjukan ketidaktahuan apa yang terjadi saat itu. Padahal kolaborasi yang dilakukan Sukarno, Hatta dengan Jepang itu merupakan kesepakatan tiga serangkai – Sukarno – Hatta dan Syahrir. Tentang Romusha, pada awalnya Sukarno sendiri tidak bakal menduga bahwa kerja itu akan mencelakakan bangsanya sendiri. Apalagi waktu itu Sukarno dan Hatta menggunakan pengerahan tenaga kerja sebagai cara mengurangi angka pengangguran rakyatnya. Sukarno lahir di bawah rasi Gemini. Sebuah lambang kekembaran, dua sifat yang berlawanan, sebagaimana dia pernah katakan sendiri. Dia idealis sekaligus pragmatis. Kepada Soebadio Sastrosatomo, Soebadio dan Soedjatmoko yang menghampiri Sukarno pada awal 1944 dan memprotes dukungan Sukarno terhadap Jepang. Ia mengatakan, “ dengan setan sekalipun saya mau bekerja sama andaikan dengan demikian saya dapat menolong bangsa saya “. Menyimpulkan Sukarno seorang demokratis juga tak sepenuhnya benar, karena dia memberangus koran pengrikitiknya dan memenjarakan penentangnya. Dalam biografi bekas tokoh Permesta, Ventje Sumual. Dia menceritakan Sukarno tak sepenuhnya nasionalis, karena memilih Nasution sebagai KSAD atas pertimbangan agama Islam, dibanding Simbolon yang Kristen. Alasannya karena dia membutuhkan dukungan politisi Islam di parlemen. Sumual mendengar dari Letnan Kolonel Prajogo, komandan CPM yang mendengar penuturan langsung dari Sukarno yang tak menduga kalau si komandan CPM beragama Katolik. Kebiasaan Sukarno menonton film seminggu sekali di Istana menunjukan dia sebagai sosok yang egaliter. Sukarno mengajak seluruh pegawai Istana untuk berbaur bersama bersama anak anaknya dalam ruangan pemutaran film. Dia bisa sangat marah ketika ada yang masih bercakap cakap ketika film diputar. Tapi dia juga mempersilahkan pengawal pengawalnya untuk memakan suguhan yang disediakan untuk keluarga Presiden. Sebagaimana dikisahkan oleh ajudan Mangil. Sukarno bisa tidak tega – memalingkan wajahnya – ketika melihat adegan seekor rusa yang ditembak oleh pemburu. Kisah ini melukiskan Sukarno sebagai pribadi yang hangat, terbuka, bergelora, sensitive dan sangat kompleks. Frans Goedhart, wartawan harian ‘ Het Parool ‘ yang hadir dalam perayaan proklamasi kemerdekaan pertama di Jogja pada 17 Agustus 1946, mempunyai komentar ringkas setelah ia mendengarkan pidato presiden Sukarno. “ Fier en met open vizier, zo is Sukarno “ – Gagah berani dan dengan dada terbuka, begitulah Sukarno. Dia memang sosok percaya diri sekaligus sombong. Dia pernah mengatakan kepada anak residen Bengkulu yang bertanya mengapa ia rajin sekali menghabiskan waku dengan membaca. Jawab Sukarno, ia perlu terus belajar karena dirinya adalah calon pemimpin masa depan Indonesia. Ya Sukarno seorang yang optimistis. Satu hal menurut Fatmawati, Sukarno tak pernah munafik, selalu terus terang walaupun perkataannya akan menyakiti orang lain. Sukarno memang tak pernah sembunyi sembunyi mengemukakan perasaan cintanya kepada orang lain. Dia sangat gentlemen. Berbagai hal di atas tentang pribadi Sukarno, bisa menjadi rujukan ‘ character development ‘ bagi sineas yang akan memfilmkan Sukarno. Perlu dipahami walau Sukarno seorang Jawa namun ia adalah produk Belanda yang ke-barat baratan. Ia lebih suka berbicara bahasa Belanda. Bahkan ia berpikir dalam bahasa Belanda. Ketika seorang sineas memberikan tafsir Sukarno yang berpikir dalam cara Indonesia, pasti akan membuat penokohannya tidak pas. Berbeda dengan orang Jawa pada umumnya, Sukarno tidak pernah malu untuk berani mencium gadis yang disukai di sekolah. Jika membaca yang tersurat dalam biografi Inggit Ganarsih, bisa disimpulkan Sukarno muda sudah mengisi malam malam sepi si istri pemilik rumah kosnya, yang selalu ditinggal pergi suaminya. Apakah ini menjadi semacam men-down grade karakter Sukarno ketika ditampilkan di layar lebar ? Saya rasa tidak. Itu menunjukan Sukarno yang sesungguhnya. Seorang pencinta ulung. Dalam salah satu film Sukarno yang berkisah kehidupannya di Ende. Si Bung terlihat selalu memakai kopiahnya dimana mana, termasuk di dalam rumah. Juga para anggota tonil sandiwara yang dikumpulkan, datang dengan hampir semua memakai kopiah. Tiba tiba saya bertanya, ini di Ende, Flores atau Riau, Sumatera timur ? Prosesi menyanyi Indonesia Raya sebelum pementasan di Aula Gereja Immaculata juga mustahil. Bagaimana mungkin mereka menyanyi didepan para tamu audiens yang ada orang Belandanya. Sementara Syahir di Banda, harus sembunyi sembunyi di pantai, ketika mengajarkan lagu kebangsaan. Dalam ‘ Soekarno’ nya Hanung. Saya menghargai konstruksi sejarah yang ia tampilkan untuk generasi sekarang yang tidak mengenal bapak bangsa kita, walau si Bung terlihat gloomy dan seperti kehilangan semangatnya. Saya juga tidak mempersalahkan perbedaan persepsi, misalnya Riwu Ga yang digambarkan pulang terlebih dahulu, padahal ia tetap tinggal sampai proklamasi. Tak ada yang tahu kalau Riwu Ga adalah corong kemerdekaan yang pertama. Setelah para pemuda pulang. Soekarno memanggil Riwu. “Angalai (sahabat), sekarang giliran angalai,” lalu Bung Karno melanjutkan instruksinya, “sebarkan kepada rakyat Jakarta, kita sudah merdeka. Bawa bendera.” Waktu itu hampir mustahil menggunakan radio, mengingat fasilitas masih dikuasai Jepang. Dengan menaiki jip terbuka yang disupiri Sarwoko, Adiknya Mr. Sartono, sahabat Soekarno dari PNI. Riwu berteriak dengan megaphone di jalan jalan dan gang gang Jakarta mengabarkan. Indonesia sudah merdeka. Selain itu ada versi lain, bahwa sesungguhnya Sukarno mengantar Inggit pulang ke Bandung dengan oto ( mobil ). Kartika, anak angkat mereka duduk di tengah diantara Sukarno dan Inggit. Sementara Kyai Haji Mas Mansur ikut mengantar duduk di depan, sebelah supir. Saya hanya terganggu bahwa baju baju pada masa itu terlihat sangat rapih serta orang orang yang perutnya buncit. Padahal jaman Jepang dikenal sebagai jaman susah, baik sandang maupun pangan. Tapi tafsir dari seorang sutradara, tidak ada yang lebih pas dari kemampuannya memilih cast pemeran. Terus terang Hanung memberikan yang terbaik. Namun jika saya boleh berandai andai. Saya meminta Hanung memberi porsi sedikit waktu saja kepada Inggit, ketika Sukarno membacakan teks proklamasi. Mungkin ini sangat personal. Bagi saya dari seluruh jasa Sukarno memerdekakan negerinya, sebagian besar ada ‘ saham ‘ dari Inggit yang mendampinginya dalam jalan panjang yang bukan bertabur bunga.

Senin, 17 Maret 2014

blogger vs sby

London tahun 1579. Seantero Kerajaan Inggris Raya heboh karena ada pamflet yang berisi menanyakan benar tidaknya desas desus perkawinan Ratu Elizabeth I dengan seorang bangsawan Perancis. John Stubbe sebagai penulis dan Hugh Singleton sebagai pencetak mempertanyakan apa logikanya bersatunya dua pemimpin yang selalu berperang itu. Ratu marah karena ada orang yang berani mengomentari kekuasaannya. Keduanya masuk penjara dengan tuduhan menyebarkan berita bohong yang dikategorikan sebagai pemberontakan. Kelak keduanya dijatuhi hukuman potong tangan kanan. Stubbe tetap setia terhadap ratu. Bahkan ia menghormati ratu dengan tangan kirinya kelak. Sementara hukuman untuk Singleton dibatalkan. KIsah itu adalah catatan sejarah ketika pertama kali hukum – penguasa – bisa menuntut seseorang ke dalam penjara atas dasar tulisan yang dibuatnya. The Charter oh human rights and principles for the internet yang dikembangkan oleh Internet Rights and Principles Coalition, pertama mendefinisikan kebebasan online untuk berekspresi termasuk kebebasan untuk menyatakan protes, kebebasan dari penyensoran, hak atas informasi, kebebasan media, dan kebebasan dari kebencian ( hate speech ). Visioner sejak awal membayangkan internet sebagai dunia tanpa batas, di mana aturan hukum dan norma-norma sehari hari tidak berlaku. Kebebasan berekspresi telah dibayangkan sebagai hak, sebuah fitur dari dunia maya. Pertanyaannya kebebasan yang bagaimana ? Ini menjadi berita ketika seorang blogger Kompasiana, Sri Mulyono harus menghadapi somasi yang dilayangkan oleh pengacara yang ‘diduga’ mewakili Presiden SBY. Somasi terkait tulisan Sri Mulyono di Kompasiana berjudul “Anas: Kejarlah Daku Kau Terungkap“. Sang penulis blog berdalih, kebebasan berekpresinya telah terciderai dengan somasi ini. Secara tidak langsung ia menggalang dukungan dan simpati dari para kompasianer, Blogger Kompasiana melalui postingan berikutnya. Namun menariknya, tidak semua blogger merasa harus mendukungnya. Bahkan banyak yang meminta agar Sri Mulyono membuktikan bahwa apa yang telah ditulisnya. Fenomena ini menunjukan bahwa solidaritas blogger tidak sepenuhnya harga mati. Hal ini karena perseteruan yg terjadi lebih kental ‘aroma’ politiknya daripada sekadar ancaman terhadap kebebasan blogger itu sendiri. Sri Mulyono adalah seorang aktivis dari ormas PPI – Perhimpunan Pergerakan Indonesia bentukan Anas Urbaningrum yang kini menjadi lawan SBY. Sri Mulyono sendiri menantang SBY untuk membantah tulisannya dengan tulisan lain. Menurutnya, tradisi berpolemik melalui tulisan merupakan budaya para tokoh kebangsaan di era pergerakan nasional saat memeperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Budaya intelektual yang terus dilestarikan, untuk pembelajaraan politik bagi masyarakat. Tentu implikasi sebuah tulisan di internet tidak sederhana itu. Apakah fakta atau berita fitnah bisa disikapi dengan hanya dengan hak jawab atau bantahan, ketika berita awalnya sudah tersebar secara viral. Membandingkan dengan analogi polemik Sukarno dan Hatta di koran “ Fikiran Ra’yat “ pada awal tahun 1930an, juga tidak sepenuhnya tepat, kalau berkaca pada efek viral sebuah pemberitaan. Jaman itu hampir 95 % rakyat Indonesia buta huruf, sehingga tuduhan Hatta, bahwa Sukarno seorang yang lemah dan cengeng atau tuduhan Sukarno bahwa Hatta pengkhianat karena menerima tawaran menjadi anggota Partai Sosialis Merdeka ( Onafhankelijke Socialistisch Partij ), hanya dapat dibaca segelintir kalangan terdidik. Sementara Indonesia Internet Survey 2013 yang dibesut oleh Merketeers bersama MarkPlus Insight, mencatat 74 juta orang pengguna internet. Mahkamah Konstitusi pernah menolak permohonan uji materil 2 pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 27 ( ayat 3) UU ITE yang menyebutkan. ‘ Setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik ‘. Dalam sidang dipimpin sang ketua sendiri. Moh. Mahfud MD beralasan, korban yang terjadi dengan menggunakan sarana dunia maya menyebabkan korban menderita untuk waktu lama. Dampak pencemaran nama baik ini atau penghasutan lewat internet begitu luas. Tak ada batas ruang dan rentang waktu. Demikian dalil MK. Prof Oemar Seno Adjie mengatakan jurnalisme yang bertanggung jawab hanya jika isinya tidak menyinggung masalah penghinaan, penghasutan, pernyataan terhadap agama, pornografi, berita bohong, tidak menyiarkan berita yang mengganggu keamanan nasional dan pemberitaan yang menghambat jalannya peradilan. Blogger sebagai bagian dari jurnalisme warga bisa memakai rambu rambu tersebut. Seorang penulis harusnya sudah memikirkan segala implikasi yang mungkin timbul ketika dia menerbitkan postingan. Bahwa ada orang yang akan mempertanyakan keabsahan atau benar salah tulisannya. Tanggung jawab itu melekat sejak dia memikirkan konsep tulisan. Disisi lain somasi atau tuntutan hukum bisa dipandang berlebihan karena berpotensi memasung kebebasan mengemukakan pendapat. Lebih jauh lagi, bisa saja sebuah tulisan dianggap mengandung muatan pencemaran atau penghinaan, dari kaca mata personal yang subyektif. Ini seperti pasal karet semacam Hatzaai Artikelen yang kerap dipakai penguasa orde baru. Sebagai blogger kita bisa cemas, kalau ada yang tidak menerima bentuk tulisan kritis dalam blog. Padahal Blog bisa menjadi wadah untuk menyalurkan keluhan terhadap keseharian, pelayanan publik, penipuan produk atau hak warga Negara. Sebenarnya soal pencemaran nama baik atau penghinaan telah diatur oleh KUHP pasal 310 dan 311. Kontsitutusi kita telah mengenal dan mengakui adanya kekebasan pers. Dalam pasal 28 UUD 45 menegaskan adanya kemerdekaan untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, yang lain tidak lain adalah kemerdekaan pers. Jika ini induk dari segala bentuk undang undang di negeri ini mestinya UU yang yang bertentangan harus batal demi hukum. Dalam kehidupan demokrasi saat ini, kita memang tidak bisa melarang hak hak orang yang terganggu dengan sebuah pemberitaan. Adagium balaslah sebuah kritik tulisan dengan tulisan lain memang masih relevan. Alih alih somasi atau legal action, sebaiknya perselisihan bisa dicoba memakai acuan delik pers jika terjadi perselisihan. Jika tidak puas baru maju ke pengadilan. Sebagaimana yang dikatakan Frank La Rue, The internet is a “ plaza publica ‘ – a public place where we can all participate – Namun kita harus sepakat bahwa partisipasi publik itu harus diimbangi dengan tanggung jawab.

Jumat, 14 Maret 2014

selamat datang capres Jokowi

Tunai sudah janji Megawati kepada publik, bahwa dia memang tidak berambisi menjadi Presiden RI berikutnya. Siang ini di kantor DPP, ia memberikan surat mandat penunjukan Jokowi sebagai calon Presiden dari PDIP. Surat mandat itu menjadi sangat heroic karena ditulis dengan tangannya sendiri. Tiba tiba saya teringat coretan tangan Bung Karno ketika menuliskan kata kata yang rumusan proklamasi hasil diskusi dengan Hatta dan Achmad Soebardjo. Kenapa Jokowi ? Mungkin Mega juga tak kuasa menahan desakan publik yang sebagian besar menginginkan PDIP mencalonkan selekasnya figure bekas walikota Solo itu. Tapi yang menarik adalah kalimat dalam surat mandat itu. ” Jokowi sebagai petugas partai “. Apakah ini sebagai kunci untuk Jokowi agar tidak melenceng dari garis partai kelak ? Tapi teman saya yang menjadi caleg PDIP untuk Dapil di Jawa timur sangat bergembira, karena cukup dengan blusukan dan mengatakan kepada konstituennya ‘ dapat salam dari Mas Jokowi ‘. Cara ini akan mempermudah mendulang suara. Kenapa tidak ? Ini pasti mengagetkan, karena selama ini sinyal Pencapresan dari parati moncong putih selalu digembar gemborkan akan dilakukan setelah pileg. Penantian ini, tentu membuat partai ( termasuk Megawati ) diserang para pendukung Jokowi. Akun akun di social media menuduh Megawati masih memiliki ambisi menjadi Presiden. Apa yang terjadi hari ini memang membuat akun akun itu tiba tiba jadi mingkem. Mak klakep. Saya harus memberi apresiasi kepada Ibu Ketum PDIP yang berani mendengar suara rakyat serta mengambil momentum. Karena politik adalah momentum. Megawati juga belajar dari 10 tahun menjadi oposisi, dan menjadi lebih arif dan waskkita. Ia juga terus mendorong untuk melakukan regenerasi di partainya. Puan Maharani, Rieke, Ganjar Pranowo nama nama yang terus moncer. Sekarang bisakah Jokowi menjawab tantangan itu. Ekspekstasi rakyat terlalu tinggi untuk tidak dikecewakan. Presiden tidak hanya punya pendukung massa partai atau rakyat yang terpesona dengan penciraan. Tapi juga nyali dan juga visi, kemana akan membawa negeri ini. Kita sudah terlalu lama stagnan. Korea Selatan awal tahun 60an jauh lebih miskin daripada Indonesia. Sekarang siapa yang ketinggalan ? Saya ( rakyat ) butuh pemimpin yang punya nyali untuk menggerus ormas ormas fanatik yang mengancam kebinekaan negeri. Punya keberanian menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi. Berani menggebrak meja perundingan dengan korporasi multinasional tentang pengelolaan hasil bumi Indonesia yang lebih menguntungkan kita. Bung Karno pasti menangis melihat awal kekuasaan orde baru, ketika lawyer lawyer dan korporasi pertambangan, produk consumer, bank asing yang membagi bagi ‘kue’ Indonesia dalam sebuah pertemuan di Genewa tahun 1967. Sejarah tak bisa diulang tapi bisa ditulis untuk catatan yang lebih bagus buat anak cucu kita. Presiden bukan juga melulu karena blusukan. Butuh manajemen mumpuni serta integritas. Bangsa ini terlalu besar dan kompleks permasalahannya. Pemimpin harus bisa memberi contoh, turun tangan. Mestinya Jokowi bisa. Tiba tiba saya teringat pidato Bung Karno, “ Saya ini penah pegang sapu, nyapu apa ? nyapu kakusnya pelayan pelayan. Saya marah kepada mereka. Saya bentak. Tapi dalam membentak saya kasih contoh. Kasih sapu ! saya sapu kakus kakus mereka. Kasih air. Saya schrob ( sikat ) kakus kakus mereka “ Kini langkah selanjutnya ada di tangan Jokowi, sang capres yang digadang gadangkan bakal menjadi pemenang. Jika mengutip ucapan Pramudya Ananta Toer saat mendorong Budiman Sudjatmiko 15 tahun lalu sebagai calon Presiden, mestinya kita bisa mengutip kata kata Pram itu sekarang, untuk orang yang berbeda “ Selamat datang Jokowi, calon Presiden. Mereka capres yang dungu akan menyingkir tersipu sipu