Senin, 09 Februari 2015

tentang banjir

Tiba tiba saja negeri ini seperti dikutuk karena bencana banjir dimana mana. Manado, lalu sepanjang pantai utara Jawa mulai dari Karawang sampai ujung perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tentu saja, Jakarta yang menjadi langganan setiap tahun. Tambahan letusan Gunung Sinabung di Sumatera Utara seakan menggenapi lirik tanah bencana. Khusus Jakarta. Siapapun Gubernurnya jadi tergagap gagap menghadap banjir yang datang.. Mengapa tidak ? Jika berita di media online sudah mengatakan, “ Ketinggian air di Katulampa, Bogor sudah mencapai siaga 1. Banjir kiriman segera datang “. Sesuai hukum alam, air akan mengalir ke dataran rendah. Artinya Jakarta hanya bisa pasrah, dalam hitungan sekian jam akan menerima limpahan air yang menerjang. Mengamuk kemana mana. Sebenarnya dari jaman dulu banjir selalu memusingkan penguasa Batavia. Banjir besar terjadi pada tahun 1872, sehingga Sluisburg (Pintu Air) di dekat Harmoni ini jebol. Kita tidak tahu seberapa besar banjir waktu itu. Yang pasti ketika itu Ciliwung meluap dan merendam pusat perdagangan di tengah kota seperti pasar baru dan sepanjang jalan yang sekarang menjadi Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Banjir besar lainnya terjadi 1918. Hujan yang turun terus menerus sepanjang bulan Januari dan Februari membuat Batavia kembali kebanjiran. Kali ini hampir seluruh kota terendam seperti daerah yang sekarang menjadi Gambir. Pejambon dan Cikini. Ini membuat Pemerintah Hindia Belanda membangun proyek banjir kanal, dan beberapa kali sodetan. Kalau ditambah dengan kali yang ada, saat itu memang Jakarta memiliki banyak sungai. Secara kasar ada 18 sungai membelah wilayah seperti Kali Angke, Kali Grogol, Kali Gunung Sahari, Kali Sunter. Ada lagi kali yang menghubungkan satu sama lain, seperti Kali Besar dengan Kali Krukut. Begitu banyak sungai karena memang awalnya Batavia dibangun oleh Jan Pieterzoon Coen, merupakan daerah rawa rawa di dataran rendah. Seandainya Jakarta dibangun di daerah yang lebih tinggi, mungkin tidak akan memusingkan para penguasa penerusnya. Tapi pendiri kota memang membutuhkan Batavia di tepi laut , sebagai kota pelabuhan. Jaman itu banyak sungai sungai kecil yang dibangun Belanda sebagai replika dari negeri asalnya sana. Mereka menggali kanal kanal yang disebut Grachten. Kali kali atau Grachten ini menjadi sarana utama angkutan barang antar wilayah yang menggunakan sampan atau perahu. Sedikit banyak memang kanal kanal sodetan menjadi pencegah banjir. Setelah tahun 1918, baru tahun 1930, Batavia kembali dilanda banjir, walau tidak sehebat banjir tahun 1918. Ini berbeda dengan jaman sekarang, dimana hampir setiap tahun kita penduduk Jakarta harus berjibaku dengan bencana banjir yang rutin. Fungsi sungai Ciliwung sudah mengalami pendangkalan. Jika kita membaca catatan sejarah masa lalu, kedalaman sungai bisa mencapai 5 sampai 10 meter dengan air yang relatif bersih. Bahkan sampai tahun 1960an, masih banyak dijumpai buaya di Sungai Ciliwung di daerah Condet. Kini Sungai Ciliwung sudah menjadi kotor, dipenuhi sampah dan dalamnya mungkin hanya 1 – 2 meter. Banyak kali dan sungai yang telah hilang atau berubah fungsinya. Misalnya kali Krukut yang dulu menghubungkan wilayah tanah abang dengan Harmoni, kini menjadi got sempit. Sebenarnya sesimpel itu. Alam yang berubah karena manusia serakah dan bodoh yang menyebabkan keseimbangan terganggu. Aturan perundangan yang merusak lingkungan seperti Perpu nomor 1 tahun 2004 tentang perubahan atas UU no 41/1999 tentang Kehutanan, yang mengijinkan eksploitasi pertambangan di kawasan hutan lindung. Belum lagi pemberian ijin terhadaop pembangunan rumah, real estate di wilayah resapan air, seperti daeah aliran sungai atau situ/rawa. Kita teringat bagaimana Pantai Indah Kapuk merubah ekosistem hutan bakau seluas 850 ha menjadi pemukiman elit yang menyebabkan banjir di kawasan Jakarta Barat. Padahal dulu selama beratus ratus tahun kawasan Cengkareng disana tak pernah banjir. Lalu bagaimana kawasan Kelapa Gading yang dulunya sebagai kawasan rawa rawa ? Hujanpun kembali disalahkan dan kalau bisa dibuang keluar Jakarta. Pemprov harus merogoh kocek 20 M hanya untuk membuat rekayasa cuaca, menyebar garam garam dengan pesawat Hercules, agar hujan menyingkir ke atas Selat Sunda. Kuasa Tuhan harus dikalahkan dengan teknologi buatan manusia. Padahal hujan tak pernah begitu ditakuti seperti jaman sekarang. Kalau sudah begini, saya teringat puisi Sapardi Djoko Damono , “ Sihir Hujan “. Ya, siapa yang bisa menolak sihir itu. Bahkan uang 20 Milyarpun tak mampu mencegahnya. Hujan mengenal baik pohon, jalan dan selokan. Swaranya bisa kau beda bedakan. Kau akan mendengarnya meski sudah kau tutup pintu dan jendela. Meskipun sudah kau matikan lampu. Hujan, yang tahu benar membeda bedakan, telah jatuh di pohon, jalan dan selokan. Menyihirmu agar sama sekali tidak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan.