Rabu, 21 Oktober 2015

NU & Sukarno .bypuput


Banyak yang bertanya tanya, apakah NU itu semacam ormas semangka ? Luar hijau tapi dalamnya merah. Analogi ini mengacu pada kedekatan kaum nasionalis dengan nahdliyin sejak dulu.. Kita tentu mengingat awal awal orde reformasi, Gus Dur sendiri menitipkan keponakannya untuk ditaruh di PDI P. Selain itu konsistensi NU dalam menyikapi masalah kebangsaan dari bingkai pluralisme, menjadi benteng terhadap gerusan ide ide sectarian dan negara Islam. Tentu kita harus menarik garis merah sejarah bagaimana nasionalisme melalui Sukarno bisa bertautan dengan Islam.
Pada tahun 1930an, tulisan tulisan Sukarno tentang kebangsaan, sudah dibaca dan dikagumi di kalangan pesantren.. Khususnya tulisan Sukarno “ Mencapai Indonesia merdeka “ yang memberikan obor semangat nasionalisme pada para santri. Sehingga walau tidak ada bukti kedekatan fisik antara Sukarno dan NU, namun dalam tingkat ide, pemikiran Sukarno bukan sesuatu yang asing bagi NU.
Ini menjelaskan artikel “ Riwayat singkat Nahdlatul Ulama “ dalam Majalah Gema Muslimin – yang dimuat Feb 1945 – menulis bahwa para santri di Tebu Ireng tahun 1930an sudah menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya setiap hari kamis, setelah mata pelajaran terakhir.
Pada muktamar NU ke 25 di Surabaya tahun 1940, NU justru melihat Sukarno – yang saat itu dalam pembuangan – menjadi calon pemimpin Indonesia yang mumpuni jika Indonesia merdeka kelak. Saat itu dibuat semacam konvensi Presiden masa sekarang, yang dipimpin oleh KH Mahfud Siddiq. Mereka berkumpul memilih nama nama calon pemimpin yang muncul dari tokoh tokoh pergerakan Islam atau kebanggasaan. Dari 11 ulama senior dalam pemilihan konvensi itu, 10 memilih Sukarno dan 1 memilih Hatta.
Menarik mengapa justru Sukarno yang sekular yang terpilih, bukan Hatta yang dari permukaan tampak lebih Islami.
Ada beberapa persamaan Sukarno dan NU. Sama sama Jawa Timur dan sama sama mencintai kebudayaan lokal, sehingga agama dan budaya bisa menjadi satu, menjadi Islam. Namun lebih dari itu, sejak lama NU mengamati tulisan tulisan Sukarno, dan khusus pada tulisan ‘ Nasionalisme, Islam dan Marxisme ‘.
Mereka terpukau bahwa Sukarno menawarkan titik temu antara nasionalisme dan Islam. Ini menunjukan kesamaan pola pikir, NU mempunyai metodologi yang nyaris sama. Gemar menyatukan dua hal yang tampaknya berbeda.

Jepang memiliki peran penting dengan menggabungkan kekuatan nasionalis dan Islam dalam satu badan. Sukarno dan KH Hasyim Asya’ri diangkat Jepang menjadi pembesar diJawa Hokokai, sebuah organisasi bentukan Jepang untuk memobilisasi pengabdian rakyat Hal mana pada jaman Belanda, kaum Nasionalis dan Islam selalu berdiri sendiri sendiri. Walau Jepang sendiri tidak melihat bahwa Sukarno akan menjadi peran penghubung antara kelompok Islam dengan Jepang. Sehingga Jepang justru mendatangkan orang Jepang muslim, Haji Abdul Muniam Inada dan Haji Muhammad Saleh Suzukiuntuk mendekati golongan Islam.
Dalam Jawa Hokokai, KH Hasyim Asya’ri, yang juga sebagai ketua Masyumi bentukan Jepang juga, banyak melihat bagaimana Sukarno secara pragmatis melakukan negoisasi dengan Jepang,
Ketika 15 Agustus 1944, Soekarno berhasil membujuk Jepang untuk mengijinkannya membentuk Barisan Pelopor, sebuah organisasi nasionalis yang menggerakan para massa rakyat. Maka KH Hasyim Asya’ari juga meminta diijinkan membentuk barisan bersenjata sendir, yang diresmikan tgl 4 Desember 1944. Barisan massa Islam ini dinamakan Hisbullah yang artinya Barisan Tentara Allah.
Titik temu Sukarno dan NU terbentuk lebih intens saat rapat rapat BUPKI. Badan yang beranggotakan 62 orang itu, 15 diantaranya merupakan wakil golongan Islam, termasuk wakil NU KH. Masykur dan KH Wahid Hasyim.
Dari mereka, Sukarno mengenal pesantren lebih dekat, karena mereka menunjukan simpati yang besar terhadap nasionalisme berdasarkan kerakyatan. Ini cocok dengan paham Sukarno yang nasionalis dan marhaen.
Dalam sidang BPUPKI berikutnya terjadi perdebatan keras antara kelompok islam dan nasionalis sekuler. Sejak pidato Soepomo tgl 31 Mei 1945, Hatta sudah meminta agar agama dipisahkan dengan negara. Walau Soepomo menyinggung yang dimaksud negara dan agama bersatu padu, alasannya Islam itu sebuah sistem agama, sosial, politik yang bersanadar atas Al Qur’an sebagai sumber dari segala susunan hidup manusia.
Dalam perdebatan itu, Sukarno menganjurkan kelompok yang mendukung negara Islam agar menjunjung agama Islam melalui permusyawaratan atau parlemen. Dengan kata lain, Islam tidak boleh diistimewakan ( dilembagakan ) tapi diperjuangkan melalui parlemen ( DPR ). Bila sebagian besar mereka beragama Islam, maka Undang undang yang dihasilkan merupakan undang undang yang sesuai dengan Islam. Apa yang diucapkan Sukarno kelak dikenal dengan hari lahirnya Pancasila.